Dirjen Pajak: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih di Atas Rata-Rata Dunia


Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan angkat bicara tentang melesetnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 yang telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (6/2/2019).

Sebagai informasi, BPS telah merilis angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 persen. Angka ini meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,4 persen. Namun nampaknya hal ini tidak membuat Robert kecewa.

“Saya tidak terlalu kecewa dengan angka yang telah dirilis BPS meskipun meleset dari target pemerintah karena itu memang fakta yang ada,” ungkapnya saat ditemui usai acara Indonesia Economic and Investment Outlook 2019 dikantor Badan Koordinasi Pemberian Modal (BKPM), Rabu (6/2/2019).

Robert menambahkan, meskipun pada 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,17 persen namun ini tergolong cukup bagus karena berada di atas rata-rata pertumbuhan perekonomian di dunia yang saat ini hanya pada angka 3 persen saja.

“Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 sebesar 5,17 persen dan itu bagus, karena tidak semua negara mampu mencapai angka tersebut,” ujarnya pada Rabu (6/2/2019).

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 terbilang melambat hal ini tidak membuatnya kecewa, karena menurutnya hal ini juga terjadi pada perkembangan ekonomi secara global.

Jokowi Jelaskan Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Bagi Indonesia

 Presiden Jokowi menyampaikan pentingnya bagi Indonesia mempercepat pembangunan infrastruktur yang merata di tiap daerah.

Menurut Jokowi, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu syarat agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lainnya.  

"Saya sampaikan ke menteri bahwa daya saing, 'competitiveness', tidak bisa tidak, kita harus kejar yang namanya infrastruktur sebagai syarat pondasi kita untuk bisa bersaing dengan negara lain," kata Jokowi di kediaman Ketua Dewan Penasihat Majelis Nasional Kahmi, Akbar Tanjung, di Jakarta, 5 Februari 2019.

Jokowi mengatakan, selama empat tahun msa pemerintahannya, jalan tol sepanjang 782 kilometer telah rampung dikerjakan. Sementara itu, total target pembangunan jalan tol hingga akhir 2019 di Indonesia yakni 1.854 kilometer.

Selain membangun infrastruktur besar seperti bandara, pelabuhan, jalan tol, maupun bendungan, pemerintah juga membangun infrastruktur skala kecil melalui dana desa di pelosok-pelosok.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan, dana desa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur seperti jalan desa, embung, pengairan sawah, dan pasar-pasar desa.

"Saya kaget, sampai akhir tahun 2018 kemarin, telah dibangun kurang lebih 191 ribu kilometer jalan-jalan di desa-desa. Jumlah yang sangat banyak sekali," kata Jokowi seperti dilansir dari Antara.  

Share:

10 Negara dengan Pertumbuhan Ekonomi Tercepat di Dunia, Indonesia?


, Jakarta - Negara-negara yang saat ini termasuk kategori berkembang diprediksi mendominasi perekonomian dunia dalam 10 tahun mendatang. Berdasarkan studi Oxford Economics, sejumlah negara Asia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia. 

Dilansir dari Business Insider, negara-negara Asia Tenggara dinilai memiliki potensi ekonomi terbaik, tercatat empat negara ASEAN muncul dalam peringkat Oxford Economics tersebut, dan hanya ada satu negara Afrika dan Amerika Latin yang muncul. 

Faktor-faktor yang diambil oleh daftar tersebut bukan hanya GDP suatu negara, melainkan ketersediaan pendanaan dan pertumbuhan tenaga kerja. Ekonomi Indonesia pun disorot karena memiliki pendanaan yang semakin tidak bergantung kepada asing. 

Selengkapnya, berikut 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan diprediksi akan menjadi pemain penting di ekonomi dunia pada 10 tahun ke depan.  

Daftar 10 Negara

10. Afrika Selatan
Menurut Oxford Economics, Afrika Selatan menjadi negara ke-10 dengan ekonomi yang tumbuh dengan cepat. Produk Domestik Bruto (PDB) Afrika Selatan per tahunnya diperkirakan berkisar di angka 2,3 persen. Negara ini adalah satu-satunya negara berkembang di benua Afrika yang masuk ke dalam daftar.

9. Polandia
Polandia juga merupakan satu-satunya negara dari Eropa yang masuk ke dalam daftar. Setelah masuk Uni Eropa, PDB Polandia diharapkan stabil di angka 2,5 persen dengan adanya akses yang kuat ke sektor perbankan Eropa dan penggunaan mata uang Euro.

8. Chile
Negara berkembang satu-satunya dari Amerika Selatan yang masuk ke daftar ini memiliki ekonomi yang berkembang cepat dan lebih atraktif dari Argentina dan Brazil. Chile merupakan raksasa pertambangan dan tampaknya akan berada di garis depan pasar baterai lithium di masa depan. Oxford Economics memprediksi tingkat pertumbuhan rata-rata PDB negara ini sebesar 2,6 persen.

Performa Negara ASEAN

7. Thailand
Negeri Gajah Putih ini diprediksi memiliki PDB sebesar 2,9 persen. Pariwisata membentuk sekitar 11% dari output PDB dengan jumlah yang meningkat setiap tahunnya.

6. Turki
Cukup unik mendengar Turki masuk ke dalam daftar yang diprediksi Oxford Economics, karena ekonomi negara ini sering jatuh bangun, mulai dari mata uang yang tidak stabil hingga konflik sektor politik yang berimbas ke ekonomi negara. Namun negara berkembang ini diprediksi mengalami pertumbuhan PDB sekitar 3 persen.

5. Malaysia
Sempat dibatasi aktivitas ekspor komoditas pertaniannya, Malaysia diprediksi dapat memiliki pertumbuhan PDB sebesar 3,8 persen. Hal ini mengesankan karena pertumbuhan TFPnya justru kecil.

4. China
Ternyata, negara yang terkenal dengan aktivitas ekonominya yang kuat ini hanya menduduki peringkat ke-4. Pertumbuhan PDBnya diprediksi berada di angka 5,1 persen, namun tingkat utangnya tetap tinggi.

Indonesia dan Filipina

3. Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia barangkali menjadi kisah sukses paling mengesankan hingga Oxford Economics memprediksi pertumbuhan PDB naik sebesar 5,1 persen, didukung oleh persediaan sumber daya alam yang melimpah.

2. Filipina
Negara yang dipimpin oleh Rodrigo Duterte ini hampir sama potensialnya seperti Indonesia. Diramalkan, PDB negara ini akan tumbuh 5,3 persen berkat peningkatan tenaga kerjanya.

1. India
Duduki posisi pertama, PDB India diprediksi tumbuh sebesar 6,5 persen. Dengan jumlah penduduk yang besar, jika dipersiapkan dengan baik, negara ini akan menguasai ekonomi global.

Share:

IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia, Rupiah Langsung Tertekan


 Jakarta International Monetery Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan global di 2019 menjadi 3,3 persen dari sebelumnya yakni 3,5 persen pada Januari lalu. Penurunan ini pun disebabkan oleh ketidakpastian potensial dalam ketegangan perdagangan global yang sedang berlangsung, serta faktor-faktor spesifik negara dan sektor lainnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira menyatakan bahwa penurunan proyeksi IMF sebesar 3,3 persen tersebut berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Tak terkecuali kepada nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS).

"Dampaknya sangat besar ke perekonomian Indonesia. Nilai tukar Rupiah mulai mengalami koreksi hingga siang ini sebesar 0,21 persen ke level Rp 14.163 per USD," katanya kepada merdeka.com, Rabu (10/4/2019).

Bima mengatakan, dengan adanya penurunan ini maka gejala perlambatan ekonomi akan berlanjut sepanjang tahun. Dia pun memperkirakan. ekonomi Indonesia diproyeksi hanya tumbuh 5 persen tahun 2019 dan bisa terkoreksi ke 4,9 persen.

Dengan kata lain, perlambatan ini juga akan berdampak pada penurunan proyeksi ekspor Indonesia, dan hasilnya neraca perdagangan masih mencatatkan defisit. Para pelaku usaha pun dikhawatirkan akan melakukan efisiensi dibeberapa bidang, baik biaya produksi hingga jumlah tenaga kerja.

"Sektor yang paling terpukul adalah harga komoditas seperti sawit dan karet makin rendah. Pertambangan prospeknya juga negatif khususnya batubara. Dari dalam negeri, dipastikan efek slowdown mulai terasa ke sektor manufaktur," jelas Bima.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

IMF Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia

The International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2019. Peningkatan ketegangan perdagangan dan kebijakan pengetatan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menjadi landasan pemangkasan tersebut.

Mengutip CNBC, Rabu (10/4/2019), IMF mengatakan bahwa mereka mengharapkan ekonomi dunia tumbuh di angka 3,3 peren di tahun ini. Angka tersebut turun dari perkiraan sebelumnya yang ada di angka 3,5 persen.

Sedangkan untuk 2020, IMF cukup optimistis dengan memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh di angka 3,6 persen.

Laporan dari IMF ini keluar ketika kongres AS berjuang untuk meloloskan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) yang merupakan perjanjian perdagangan yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump denga mitra Meksiko dan Kanada. Perjanjian ini menggantikan perjanjian sebelumnya yaitu North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA).

Sementara itu, saat ini pemerintahan Presiden Trump juga masih terus berjuang untuk menuntaskan kesepakatan perdagangan dengan China.

"Neraca risiko condong untuk mengarah ke penurunan," tulis laporan IMF.

Kegagalan menyelesaikan perbedaan yang mengakibatkan hambatan tarif yang menyebabkan biaya yang lebih tinggi dari barang setengah jari dan barang jadi. Hal tersebut membuat harga barang menjadi lebih tinggi bagi konsumen.

Belum Gol

USMCA ditandatangani pada 30 November, tetapi sampai saat ini belum mendapat persetujuan dari kongres AS.

Kesepakatan ini harus melalui DPR yang dikuasai Demokrat dan dikritik oleh Senator Republik Chuck Grassley.

Jika kesepakatan antara ketiga negara ini gagal, permasalahan ekonomi AS akan sangat besar. Kanada dan Meksiko adalah dua dari tiga mitra dagang AS terbesar dan merupakan 30 persen berkontribusi kepada perdagangan global AS di 2018.

AS juga berusaha untuk mencapai kesepakatan dengan China, mitra dagang terbesarnya. China sendiri menyumbang hampir 16 persen dari perdagangan global AS tahun lalu.


Share:

Tanggapan Sri Mulyani soal Bank Dunia Revisi Pertumbuhan Ekonomi Global


 Bank Dunia (World Bank) merevisi target pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,6 persen. Angka tersebut turun 0,3 persen dari proyeksi semula sebesar 2,9 persen. 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, revisi pertumbuhan tersebut dilakukan dengan melihat kemungkinan gejolak perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Babak baru perang dagang dinilai masih belum baik. 

"Kalau lihat keseluruhan tema IMF, WB, OECD dan ADB, dalam hal ini mereka sudah lihat eskalasi trade war, AS dan RRT itu masuk skenario yang tidak baik. Down side risk sudah terjadi ini berbeda sekali tonenya," ujar dia di Kawasan Perumahan Menteri Widya Chandra, Jakarta, Rabu (5/6/2019).

Sri Mulyani melanjutkan, sebelumnya seluruh dunia berharap perang dagang AS-China segera mereda dengan beberapa pertemuan bilateral yang digelar di berbagai negara. Namun, pada kenyataannya perang dagang masih memanas.

"Tadinya mereka berharap trade war itu tidak akan sampai ke full boom atau meledak secara penuh seperti yang terjadi sekarang ini. Karena ada harapan waktu itu negosiasi terjadi jadi dinamika ini baru terjadi satu bulan terakhir atau satu setengah bulan terakhir," tutur dia. 

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut mengatakan, saat ini seluruh negara tidak lagi hanya menunggu ancaman perang dagang mereda.

Namun, lebih kepada mengantisipasi implementasi penerapan tarif kedua belah pihak pada Juni mendatang. 

"Dengan demikian maka kuartal II, III dan IV akan terpengaruh dengan adanya, tidak lagi ancaman tapi implementasi dari ancaman," tandasnya. 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Bank Dunia Revisi Pertumbuhan Ekonomi Global pada 2019

Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global melambat. Bank Dunia prediksi, pertumbuhan ekonomi hanya 2,6 persen pada 2019 dari target semula 2,9 persen.

Ekonom Bank Dunia menilai, perlambatan ekonomi semakin meluas, dan berdampak terhadap banyak negara. Ditambah risiko ketidakpastian bisnis karena ketegangan perang dagang global.

Salah satu ekonom Bank Dunia yang melakukan riset dalam laporan, Franziska Ohnsorge menyatakan, Bank Dunia sebelumnya peringatkan prediksi ekonomi global yang melambat pada enam bulan lalu.

"Dulu prediksi, sekarang kita melihat data," ujar dia, seperti dikutip dari laman BBC, Rabu, 5 Juni 2019.

Pada Januari, Bank Dunia revisi prediksi pertumbuhan ekonomi global dari tiga persen menjadi 2,9 persen pada 2019.

Ohnsorge menuturkan, kemudian kekecewaan makin luas terhadap perdagangan, investasi, manufaktur di negara maju dan berkembang.

Konflik perdagangan menjadi faktor penting yang sebabkan pertumbuhan ekonomi global melemah. Hal itu terutama ketegangan perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).

Bank Dunia melihat, perang dagang berdampak terhadap ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi China akan melambat imbas perang dagang. Dalam tiga dekade, rata-rata pertumbuhan ekonomi China sekitar 10 persen. Ekonomi China diprediksi hanya tumbuh 6,2 persen pada 2019.

Hal itu juga didorong dari pemerintah China yang sengaja perlambat ekonominya.Ekonom prediksi kalau tingkat pertumbuhan sebelumnya tidak dapat dipertahankan lebih lama.

Akan tetapi, ketegangan perang dagang yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan pengaruhi China pada 2019.

Mengurangi Kemiskinan

Kelemahan ekonomi global berdampak pada peran utama Bank Dunia. Hal ini dengan dorong pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

"Pertumbuhan ekonomi yang kuat sangat penting untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup," ujar Presiden Bank Dunia, David Malpass.

Sementara itu, Bank Dunia menyatakan ekonomi Afrika tumbuh belum cukup untuk kurangi kemiskinan di benua tersebut. Tokoh-tokoh di Afrika juga turut pengaruhi. Meski Bank Dunia perkirakan pertumbuhan agak kuat di Afrika, tapi masih belum cukup untuk secara signifikan kurangi kemiskinan.

Share:

Recent Posts